Datang bagai sinar mentari
Diam dalam hati yang sunyi
Temaniku dengan sejuta warna pelangi
Hiasi hari-hariku yang sepi
Lama tak kurasakan apa itu "Cinta"
Seolah ini datang pertama kali
Dari sekian lamanya
Akhirnya kau yang datang tepiskan semua
Rasa gundah yang melanda
Pedih yang kusimpan dalam dada
Kini sirna dalam hangatnya cinta
Kini sirna dalam lembutnya kasih
Aku tak meminta lebih darimu
Aku tak meminta kau tuk lewati tujuh samudera
Aku tak meminta kau tuk bahagiakan ku
Tapi aku minta agar kau selalu disampingku
Dan jadilah bidadari dunia akhiratku
So.. Stay with me
we'll make a history about us
Jumat, 06 Mei 2016
Kebudayaan Suku Minangkabau
KEBUDAYAAN MINANGKABAU
Budaya Minangkabau
adalah kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau dan berkembang di seluruh kawasan berikut daerah
perantauan Minangkabau. Budaya ini merupakan salah satu dari dua kebudayaan
besar di Nusantara yang sangat menonjol dan
berpengaruh. Budaya ini memiliki sifat egaliter, demokratis, dan sintetik, yang
menjadi anti-tesis bagi kebudayaan besar lainnya, yakni budaya Jawa yang bersifat feodal dan sinkretik.
Berbeda
dengan kebanyakan budaya yang berkembang di dunia, budaya Minangkabau menganut
sistem matrilineal baik dalam hal
pernikahan, persukuan, warisan, dan sebagainya.
Berdasarkan
historis, budaya Minangkabau berasal dari Luhak Nan Tigo, yang kemudian menyebar ke wilayah rantau di sisi barat,
timur, utara dan selatan dari Luhak Nan Tigo. Saat ini wilayah budaya
Minangkabau meliputi Sumatera Barat, bagian barat Riau (Kampar, Kuantan Singingi,
Rokan Hulu), pesisir
barat Sumatera Utara (Natal, Sorkam, Sibolga, dan Barus), bagian barat Jambi (Kerinci, Bungo), bagian utara Bengkulu (Mukomuko), bagian
barat daya Aceh (Aceh Barat Daya,
Aceh Selatan, Aceh Barat, Nagan Raya, dan Kabupaten Aceh Tenggara),
hingga Negeri Sembilan di Malaysia.
a).
letak geografis
letak geografis Minangkabau
(propinsi Sumatera Barat) terletak pada 0’-45’ lintang utara sampai dengan
3’-36’ lintang selatan dan 98’-36 dengan 1’ 1’ 53’ bujur timur. Daerah ini
merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang dilewati oleh garis
khatulistiwa, tepatnya kota bonjol (kabupaten pasaman).
b).
jumlah populasi
jumlah populasi : kurang lebih 12
juta,kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan anatara lain :
sumatera barat : 4.2 juta
jabodetabek : 1,2 juta
riau : 750.000
jambi : 300.000
Malaysia : 550.000
A.
SISTEM BAHASA
Bahasa Minangkabau atau dalam bahasa asal Baso Minang adalah
sebuah bahasa Austronesia yang digunakan oleh kaum Minangkabau di Sumatra
Barat,di barat Riau, Negeri Sembilan (Malaysia), dan juga oleh
penduduk yang telah merantau ke daerah-daerah lain di Indonesia. Terdapat beberapa kontroversi mengenai
hubungan bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu.Hal ini disebabkan kemiripan dalam tatabahasa
mereka. Ada pendapat yang mengatakan bahasa Minangkabau sebenarnya adalah
dialek lain dari bahasa Melayu,sedangkan pendapat lain mengatakan bahasa
Minangkabau adalah sebuah bahasa danbukan sebuah dialek.Secara garis besar,
daerah pemakaian bahasa Minangkabau dibedakan dalam dua daerahbesar, yaitu
daerah /a/ dan daerah /o/. berikut adalah contoh dialek bahasa
Minangkabau:Bahasa Melayu Dialek /a/ Dialek /o/ Penat Panek Ponek Apa A Ano Mana Ma Mano Lepas Lapeh Lopeh Contoh
perbandingan bahasa Minangkabau dan bahasa Melayu.
Bahasa Minangkabau :
Sarang kayu di rimbo tak samo tinggi, kok kunun
manusia
Bahasa Melayu :
Pohon di rimba tidak sama tinggi, apa lagi
manusia
BahasaMinangkabau:
Indak buliah mambuang sarok disiko!
BahasaMelayu:
Tidak boleh membuang sampah di sini!
Bahasa Minangkabau:
A tunankakarajo ang ?
Bahasa Melayu:
Apa yang kamu sedang kerjakan ?
B.
SISTEM PEMERINTAHAN
Produk
budaya Minangkabau yang juga menonjol ialah sikap demokratis pada
masyarakatnya. Sikap demokratis pada masyarakat Minang disebabkan karena sistem
pemerintahan Minangkabau terdiri dari banyak nagari yang otonom, dimana
pengambilan keputusan haruslah berdasarkan pada musyawarah mufakat. Hal ini
terdapat dalam pernyataan adat yang mengatakan bahwa "bulat air karena
pembuluh, bulat kata karena mufakat". Abdurrahman
Wahid dan Nurcholish
Madjid pernah mengafirmasi
adanya demokrasi Minang dalam budaya politik Indonesia. Sila keempat Pancasila
yang berbunyi Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan/Perwakilan ditengarai berasal dari semangat demokrasi
Minangkabau, yang mana rakyat/masyarakatnya hidup di tengah-tengah
permusyawaratan yang terwakilkan.
C.
SISTEM TEKNOLOGI
Perlengkapan untuk Bertani
v Sabit : Digunakan untuk memotong padi
v
Niru : Alat untuk mengeringkan padi
v Rangkiang :
Tempat untuk menyimpan beras biasanya disebut"lumbung padi"
i. Sibayau-bayau :
Bangunan berkaki 6 bergunan untuk menyimpan beras yang akan digunakan untuk
memenuhi kehidupan keluarga.
ii. Sitinjau Lauik :
Bangunan berkaki 4 berguna sebagai tempat penyimpana beras yang akan digunakan
untuk pesta, kegiatan sosial.
v
Turong :
Topi untuk bertani
v Perlengkapan untuk berburu ikan :
v Jaring
v Panah
v Tombak
v Pisau Berburu
Perlengkapan untuk Memasak
v Cetakan Kue Sapik
v Cetakan Kue Bolu
v Cetakan Kue Kambolayang
v Panutcut (Alat Penumbuk Makanan)
v Pengumpal Genang (Alat untuk menghaluskan bumbu)
Benda benda pusaka
v
Karih (sejenis KERIS)
v
Pending Emas
v
Sunting
v
Lemari Bunian (Tempat Menyimpan
Benda Pusaka)
v
Ruduih (Sejenis GOLOK)
Pakaian
Adat
v
Perempuan -> Baju KURUNG dengan
tutup kepala yang berbeda beda sesuai dengan acaranya.
v
Laki-lai ->
Baju model Teluk Belangga yang berlengan pendek dan melebar pada ujungnya,
celana panjang, kain songket yang dikenakan dari pinggang sampai lutut, dan
selembar kain yang menyelempang pada bahu.
v
Talapak ->
Tempat menyimpan pakaian adat
Rumah Adat
v
Rumah Gadang -> Rumah
gadang yang dibangun sesuai keinginannya masing-masing, setiap rumah memiliki
ukiran di dindingnya berupa tanaman-tanaman. Di depan halaman rumah mereka
terdapat rangkiang untuk menyimpan padi.
D.
MATA PENCAHARIAN
Zaman
dahulu masyarakat minangkabau melakukan "barter", seperti kelapa,
sayur-sayuran, dan buah-buahan. Mereka menggunakan perahu/kuda untuk mengantar
barang pada saat melakukan transaksi. Kegiatan barter ini dilakukan hanya
sebatas antar daerah saja. Sedangkan pada zaman sekarang ini statistik
masyarakat minang, sebagai Berikut :
- 33 % berdagang
- 30 % bertani dan nelayan
- 37 % bekerja sebagai pegawai
- Hasil tambangnya berupa granit dan marmer
- Hasil pertaniannya berupa beras, buah-buahan, dan sayur-sayuran
- Kebanyakan penduduknya mengadu nasib/merantau ke Jakarta, Bandung, dan kota-kota besar lainnya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak pada zaman era modern ini.
E.
SISTEM PENGETAHUAN
Budaya Minangkabau mendorong masyarakatnya untuk mencintai pendidikan dan
ilmu pengetahuan. Sehingga sejak kecil, para pemuda Minangkabau telah dituntut
untuk mencari ilmu. Pandangan Minangkabau yang mengatakan bahwa "alam
terkembang menjadi guru", merupakan suatu kemauan yang mengajak masyarakat
Minangkabau untuk selalu menuntut ilmu. Pada masa kedatangan Islam,
pemuda-pemuda Minangkabau selain dituntut untuk mempelajari adat istiadat juga
ditekankan untuk mempelajari ilmu agama. Hal ini mendorong setiap kaum
keluarga, untuk mendirikan surau sebagai lembaga pendidikan para pemuda
kampung.
Semangat pendidikan masyarakat Minangkabau tidak terbatas di kampung
halaman saja. Untuk mengejar pendidikan tinggi, banyak diantara mereka yang
pergi merantau. Selain ke negeri Belanda, Jawa juga merupakan tujuan mereka
untuk bersekolah. Sekolah kedokteran STOVIA di Jakarta, merupakan salah satu
tempat yang banyak melahirkan dokter-dokter Minang. Data yang sangat nyata
menyebutkan, pada periode 1900 – 1914, ada sekitar 18% lulusan STOVIA merupakan
orang-orang Minang.
- Guna mengetahui cuaca masyarakat suku Minang menggunakan rasi bintang
- Guna mengatuhui kapan terjadi panen menggunakan lintang bumi
- Penggunaan angka dalam pertimbangan.
F.
SISTEM RELIGI
Masyarakat Minang merupakan penduduk yang
100% beragama Islam, mereka mempunyai dasar hidpu rukun beragama. Orang Minang
boleh dikatakan tidak mengenal unsur kepercayaan lain selain apa yang diajarkan
oleh Islam. Walaupun demikian, terkadang muncul kepercayaan yang tidak
diajarkan oleh Islam, misalnya percaya pada hantu yang dapat mendatangkan
bencana, pergi ke dukun untuk mengusirnya. Banyak juga yang percaya tentang
keberdaan orang dengan kekuatan gaib tertentu, contoh kepercayaan tentang
perempuan yang suka menghisap darah bayi.
G.
SISTEM ORGANISASI ATAU KEMASYARAKATAN
a). system kekerabatan
Sistem
kekerabatan di Minangkabau adalah matrilineal, yaitu di dasarkan atas garis
ibu. Seorang anak termasuk keluarga ibunya saja dan bukan keluarga ayahnya.
Seorang ayah berada di luar keluarga anak dan isterinya, sama halnya dengan
seorang dari seorang laki-laki akan termasuk keluarga lain dari ayahnya.
Sehubungan
dengan itu, keluarga batih menjadi kabur dalam sistem kekeluargaan Minangkabau.
Keluarga batih tidak merupakan kesatuan yang mutlak, biarpun besar perananyya
dalam pendidikan/masa depan anak.
Kesatuan
keluarga yang terkecil atas dasar prinsip terurai di atas adalah paruik (perut).
Ada lagi kesatuan kampueng yang memisahkan paruik dengan suku sebagai kesatuan
kekerabatan. Dari ketiganya itu, paruiklah yang benar-benar merupakan kesatuan
genealogis. Kepentingan keluarga diurus oleh seorang laki-laki dewasa dari
keluarga ibu yang bertindak sebagai ninik mamak bagi keluarga itu. Istilah
mamak berarti saudara laki-laki ibu (dapat lebih dari satu).
Suku
dalam kekerabatan Minangkabau menyerupai suatu klen matrilineal dan jodoh harus
dipilih dari luar sukunya. Pada masa dulu ada adat, bahwa orang sedapat mungkin
kawin dengan anak perempuan mamaknya atau gadis-gadis yang dapat digolongkan
demikian.
Seorang
isteri mamak akan dipanggil oleh seseorang dengan mintuwo (mertua), walaupun ia
tidak pernah mengawini anak perempuannya. Perkawinan dalam masyarakat Minang
sebenarnya tidak mengenal mas kawin dari suami. Bahkan pihak wanitalah yang
memberikan uang jemputan kepada suami, yang terpenting adalah pertukaran benda
lambang antara kedua keluarga itu.
Bila
terjadi perceraian, si suami harus meninggalkan rumah isteri tanpa membawa
harta dan anak-anaknya. Dalam masyarakat Minang seorang suami boleh punya
isteri lebih dari satu orang (poligini).
Dari
3 bentuk kekerabatan di atas, maka suku dan kampueng merupakan kelompok formal.
Suku dipimpin oleh seorang penghulu suku, sedangkan kampueng oleh seorang
penghulu andiko atau datuek kampueng.
Dalam
pesta perkawinan atau peristiwa keluarga lainnya, beberapa kelompok kekerabatan
itu saling merasa bersangkutan. Laki-laki yang mengawini seorang perempuan dari
satu paruik atau kampueng disebut urang sumando.
Kaum
kerabat laki-laki dari si perempuan disebut niniek mamak. Kaum kerabat
perempuan dari pengantin laki-laki disebut pasumandan. Bagi seorang
anak, kaum kerabat ayahnya adalah bako yang dibeberapa daerah disebut induek
bako. Seorang anak dari anggota laki-laki dari paruiknya sendiri disebut anak
pisang.
Kelompok
anak pisang harus menyumbangkan tenaganya bila ada suatu pesta atau kematian
dalam keluarga bakonya. Seorang isteri harus bekerja di rumah pasumandannya
bila di sana ada suatu hajat keluarga.
Minangkabau
mempunyai banyak arti yang pertama kabar yang diinang-inangkan artinya adalah
kabar yang diidam-idamkan, ada juga pendapat lain yang mengatakan pertemuan dua
buah hulu sungai, bahkan ada yang bilang menang kerbau.
Sistem
kemasyarakatan masyarakat Minangkabau adalah matrilineal (garis keturunan dari
ibu). Terdapat aturan yang mengharuskan anak berumur 10 tahun tidak boleh tidur
di rumah, mereka harus tidur di gurau/mushollah.
Merantau bagi masyarakat Minang adalah sikap
hidup yang sudah membudaya. Terdapat dua latar belakang mengapa masyarakat
Minang merantau adalah keinginannya untuk mendapatkan kekayaan dan perselisihan
yang mengakibatkan individu yang kalah akan meninggalkan kampung halaman.
Walaupun masyarakat Minang merantau sangat jauh, mereka akan tetap
mempertahankan kebudayaan kampung halamannya.
Dalam kehidupan masyarakat Minang dikenal
dengan tiga suku utama, yaitu Suku Bodi Caniago, Koto, dan Piliang. Ketiga suku
ini dibagi lagi menjadi 96 suku, sehingga disebut sebagai penduduk Sumatera
Barat dan merasakan seketurunan nenek moyang. Hal inilah yang membuat
masyarakat Minang yang homogen. Di dalam masyarakat Minang terdapat seorang
pemimpin yang disebut “datuk”, diangkat/dipilih berdasarkan gari keturunan anak
kemenakan dan jabatannya seumur hidup.
Pada masyarakat minang juga
diajarkan bagaimana cara bersikap, yaitu ::
- Kato Mandaki : Bersikap ke Orang Tua
- Kato Mandata : Bersikap ke Orang yang Sebaya
- Kato Malereng : Bersikap ke Orang yang belum dikenal
- Kato Manurun : Bersikap ke orang yang lebih muda
Sistem perkawianan (Baralek Gadang) merupakan hal yang
selalu dipermasalahkan dalam hukum adat orang Minang. Hal ini berhubungan
dengan pelanggaran terhadap pembatasan yang ada, yaitu ::
- Apabila seorang laki-laki menikahi wanita dari kelompok yang sama, maka pernikahan keduanya tidak mungkin dilakukan di desanya sendiri
- Apabila seorang wantia menikah dengan laki-laki dari luar, wanita tersebut akan diusir dan pihak laki-laki hanya dimusuhi oleh keluarganya saja
- Harta pusaka diberikan kepada wantia, sedangkan laki-laki hanya diberi gelar pusaka
4.
Pernikahan harus dilakukan di rumah
mempelai wanita
H.
KESENIAN
- Seni Tari
Tarian tarian yang sering digunakan dalam upacara resmi adalah ::
- Tari Indang
Menggambarkan tradisi syariat pada memacu kegotong-royongan yang melandasi kehidupan masyarakat Minang. Indang sendiri berarti alat penampi beras. Sebagian dari gerak tari ini berasal dari gerakan silat
- Gelombang Persembahan
Tari yang ditujukan untuk menyambut tamu kehormatan dan yang dihormati serta upcara adat. Pakaian yang dipakai penari laki-laki dominan berwarna hitam dan penari perempuan berwarna cerah
- Tari Payung
Tarian yang melukiskan hubungan percintaan sepasang muda-mudi yang diiringi dengan lagu Babendi-bendi
Selain tarian diatas ada juga tarian pergaulan lainnya
seperti ::
- Tari Rantak
- Tari Piring
- Tari Alang Babega
- Tari Panen
- Tari Layang-layang
- Galuak
- Sauik Randai
- Seni Musik dan Lagu
1
Alat Tiup
§ Saluang
§ Sarumai
§ Salempong
§ Bansi
2
Alat Perkusi
§ Perkusi Logam : Talempong, Canang,
Momonang
§ Perkusi Bambu : Alu Baganto,
Katuak-katuak
§ Perkusi Kulit : Tambua,
Rabano, Tassa, Rapi, Gendang
§ Perkusi Kayu : Tong-tong,
Talempong Kayu
3
Alat Petik
§ Kecapi
§ Genggong
4
Alat Gesek
§ Rebab Darek
§ Rebab Pariaman
§ Rebab Badoi
- Upacara Adat
v Tulak Bala
: Usaha manusia untuk menangkal segala bencana
v Marihimin : Permohonan agar diberi keselamatan
v Tatau : Membuka lahan pertanian atau ladang,
mengusir roh halus
v Mangido ubat nieme : Memohon kesuburan tanaman
padi
I.
SISTEM EKONOMI
Orang Minangkabau dikenal sebagai masyarakat yang memiliki etos
kewirausahaan yang tinggi. Hal ini terbukti dengan banyaknya perusahaan serta
bisnis yang dijalankan oleh pengusaha Minangkabau di seluruh Indonesia. Selain
itu banyak pula bisnis orang-orang Minang yang dijalankan dari Malaysia dan
Singapura. Wirausaha Minangkabau telah melakukan perdagangan di Sumatera dan Selat
Malaka, sekurangnya sejak abad ke-7. Hingga abad ke-18, para pedagang
Minangkabau hanya terbatas berdagang emas dan rempah-rempah. Meskipun ada pula
yang menjual senjata ke Kerajaan Malaka, namun jumlahnya tidak terlalu besar.[7]
Pada awal abad ke-18, banyak pengusaha-pengusaha Minangkabau yang sukses
berdagang rempah-rempah. Di Selat Malaka, Nakhoda Bayan, Nakhoda Intan, dan
Nakhoda Kecil, merupakan pedagang-pedagang lintas selat yang kaya. Kini
jaringan perantauan Minangkabau dengan aneka jenis usahanya, merupakan salah
satu bentuk kewirausahaan yang sukses di Nusantara. Mereka merupakan salah satu
kelompok pengusaha yang memiliki jumlah aset cukup besar.[8].
Pada masa-masa selanjutnya budaya wirausaha Minangkabau juga melahirkan
pengusaha-pengusaha besar diantaranya Hasyim Ning, Rukmini Zainal Abidin, Anwar Sutan Saidi, Abdul Latief, Fahmi Idris, dan Basrizal Koto. Pada masa Orde Baru pengusaha-pengusaha dari
Minangkabau mengalami situasi yang tidak menguntungkan karena tiadanya
keberpihakan penguasa Orde Baru kepada pengusaha pribumi.
J.
ADAT ISTIADAT
Minang Kabau yang terkenal dengan adatnya
yang kuat dari zama dahulu samapai sekarang dengan semboyan adat “Adaik Basandi
Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah” dengan pengertianyang lebih dalam adalah :
1. Pengertian menurut bahasa dalam dialektika Minang Kabau adalah :
Adaik yang berarti adat, Kultur/budaya,
Sandi yang berati asas/landasan,
Syara’ yang berarti Agama Islam, dan
Kitabullah yang berarti Al-quran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw.
2.
Pengertian dalam implementasi keseharian adalah :
Bagi masyarakat Minang dalam melaksanakan Adaik Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah disimpulkan lagi dengan Kalimat “Syara’ mangato Adaik mamakai” yang artinya Islam mengajarkan, memerintahkan menganjurkan sedangkan Adat melaksanakannya, dalam arti yang sesungguhnya bahwa Islam di Minag Kabau diamalkan dengan gaya adat Minang dan adat Minang dilaksanakan menurut ajaran Islam dengan landasan dan acuan dari Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. yang intinya bahwa “ADAT MINANG KABAU ITU ADALAH AGAMA ISLAM”.
3. Pengertian yang sesungguhnya adalah :
Bahwa adat Minang Kabau harus sesuai dengan ajaran Agama Islam secara sempurna (Kaffah), tidak boleh ada praktek adat yang bertentangan dengan ajaran Islam, karean apa bila ada praktek adat oleh masyarakat Minang yang bertentangan dengan ajaran Islam maka itu bukanlah adat Minang, dan apa bila ada orang minang yang melanggar ajaran Islam maka dia beleh disebut orang yan tidak beradat (dalam lingkup Adat Miang Kabau).
K. PENGARUH
BUDAYA ASING
Budaya
India dan Timur Tengah
Tiga peradaban dunia, yakni India, Timur
Tengah, dan Eropa, yang pengaruhnya pada kebudayaan penduduk Pulau Sumatera,
merupakan pengaruh-pengaruh asing yang digunakan untuk memahami sejarah
berbagai kebudayaan Nusantara secara umum. Namun, dalam konteks masyarakat dan
kebudayaan Sumatera, sebuah pengaruh asing lain, yang tidak didasarkan atas
ajaran agama tertentu mungkin perlu ditambahkan. Pengaruh asing itu adalah
pengaruh kebudayaan tradisional India, yang tak bisa dipungkiri telah ikut
memberi warna pada berbagai masyarakat dan kebudayaan Sumatera. Hal ini karena
berbagai unsur kebudayaan India telah ikut masuk ke Sumatera bersama masuknya
agama Hindu-Buddha dan Islam, dua dari tiga agama dan peradaban dunia yang
pengaruhnya pernah atau masih sangat besar di antara beragam masyarakat dan
kebudayaan yang hidup dipulau.
KEBUDAYAAN
BATAK
a). letak geografis
Provinsi Sumatera Utara terletak pada 1° - 4° Lintang Utara dan
98° - 100° Bujur Timur, Luas daratan Provinsi Sumatera Utara 72.981,23 km².
Sumatera Utara pada
dasarnya dapat dibagi atas:
- Pesisir Timur
- Pegunungan Bukit Barisan
- Pesisir Barat
- Kepulauan Nias
Pesisir timur merupakan wilayah di dalam provinsi yang paling
pesat perkembangannya karena persyaratan infrastruktur yang relatif lebih
lengkap daripada wilayah lainnya. Wilayah pesisir timur juga merupakan wilayah
yang relatif padat konsentrasi penduduknya dibandingkan wilayah lainnya. Pada
masa kolonial Hindia-Belanda, wilayah ini termasuk residentie Sumatra's
Oostkust bersama provinsi Riau.
Di wilayah tengah provinsi berjajar Pegunungan Bukit Barisan. Di pegunungan ini
terdapat beberapa wilayah yang menjadi kantong-kantong konsentrasi penduduk.
Daerah di sekitar Danau Toba dan Pulau Samosir,
merupakan daerah padat penduduk yang menggantungkan hidupnya kepada danau ini.
Pesisir barat merupakan wilayah yang cukup
sempit, dengan komposisi penduduk yang terdiri dari masyarakat Batak,
Minangkabau, dan Aceh. Namun secara kultur dan etnolinguistik, wilayah ini
masuk ke dalam budaya dan Bahasa Minangkabau
b). jumlah populasi
PERKIRAAN JUMLAH
PENDUDUK SUKU BATAK TAHUN 2010
Dengan asumsi pertumbuhan 1,5 %
setahun seperti pertumbuhan
penduduk Indonesia tahun 2000-2010.
TABEL
13: JUMLAH PENDUDUK ATAU POPULASI SUKU BATAK MENURUT KAWASAN
SENSUS
PENDUDUK TAHUN 2000 DAN ESTIMASI TAHUN 2010
SEBANYAK
7.051.000
NO
|
KAWASAN
|
JUMLAH TH 2000
|
JLH TH 2010 %
|
1.
|
SUMATERA UTARA
|
4.827.000
|
5.602.000 79,4
|
2.
|
RIAU
|
347.000
|
403.000 5,7
|
3.
|
DKI.JAKARTA
|
301.000
|
333.000 4,7
|
4.
|
JAWA BARAT
|
175.000
|
203.000 2,9
|
5.
|
SUMATRA BARAT
|
188.000
|
218.000 3,1
|
6.
|
KAWASAN LAIN
|
138.000
|
292.000 4.1
|
JUMLAH
|
6.076.000
|
7.051.000 100,0
|
Jumlah penduduk Suku Batak di
Sumatera Utara sekitar 5.602.000 atau 79,4 %
dan diluar Sumatera Utara 20,6 %,
berarti 1 diantara Suku Batak hidup di perantauan, dimana sebanyak 533.000 atau
8 % berada di wilayah JABODETABEK.
Orang Batak dewasa ini untuk bagian
terbesar mendiami wilayah Sumatra Utara. Mulai dari perbatasan daerah istimewa
Aceh di utara sampai perbatasan dengan Riau dan Sumatra barat di sebelah
Selatan. Selain daripada itu, orang Batak juga mendiami tanah datar yang berada
diantara pegunungan dengan pantai timur Sumatra utara dan pantai barat Sumatra
utara. Dengan demikian maka orang batak ini mendiami dataran Tinggi
karo,Langkat hulu, Deli hulu, Serdang hulu, Simalungun, Dairi, Toba, Humbang,
Silindung, Angkola, dan Mandailing dan kabupaten tapanuli Tengah.
Pada umumnya daerah ini terkenal
iklim musim tanah di datar di antara daerah pegunungan dan pantai merupakan
daerah subur untuk pertanian, sedangkan daerah pegunungan terdiri dari padang
rumput. Daerah pegunungan itu, masih dapat memberikan hidup kepada penghuninya
berkat penggunaan teknik irigasi dan penggunaan pupuk. Teknik pengolahanya
dengan sistim tegalan dan sawah. Daerah sawah sehabis panen padi lalu di tanam
palawija yang merupakan barang ekspor utama dari daerah itu. Ditempat yang
penanaman padinya kurang menguntungkan maka di tanam seperti bawang kacang,
buah-buahan dan nilam disamping hasil hutan lainya.
Suatu hal yang menguntungkan bagi orang batak ialah, sejak jaman kemerdekaan
jaringan jalan-jalan raya telah mencapai sampai keplosok-plosok. Dengan
demikian prasarana yang menghubungkan dan memperkenalkan orang batak dengan
dunia luar telah tersedia.
Suku bangsa batak lebih khusus
terdiri dari Sub suku-suku bangsa: (1) Karo yang mendiami suatu daerah induk
yang meliputi dataran tinggi Karo langkat hulu, deli hulu, serdang hulu dan
sebagian dari dairi (menurut sensus 1930 mereka diperkirakan terdiri dari
120.000). (2) Simalungun yang mendiami daerah induk simalungun (50.000 orang
menurut sensus 1930;) (3) Pakpak yang mendiami daerah indukdairi (22.000
menurut sensus 1930); (4) Toba yang mendiami suatu daerah induk yang meliputi
daerah tepi danau toba, pulau samosir, dataran tinggi toba, daerah asahan,
silindung, daerah antara barus dan sibulga dan daerah pegunungan pahai dan
habin saran(jumlah mereka terbesar diantara sub suku-suku bangsa batak,ialah
40.000 menurut sensus 1930). (5) Angkola yang mendiami daerah induk angkola dan
sipirok sebagaian dari sibolga dan batang toru dan bagian utara dari padang
lawas ; (6) Mandailing yang mendiami daerah induk mandailing, ulu, pakatan dan
bagian selatan dari padang lawas (bersama-sama dengan orang angkola mereka
diperkiran berjumlah 160.000 orang menurut sensus 1930).
A.
SISTEM BAHASA
Dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari, orang Batak menggunakan beberapa
logat, ialah: (1) Logat Karo yang dipakai oleh orang Karo; (2) Logat Pakpak
yang dipakai oleh Pakpak; (3) Logat Simalungun yang dipakai oleh Simalungun;
(4) Logat Toba yang dipakai oleh orang Toba, Angkola dan Mandailing. Di antara
keempat logat tersebut, dua yang paling jauh jaraknya satu dengan lain adalah
logat Karo dan Toba.
B. SISTEM
PEMERINTAH
Pemerintahan
Pemerintahan Sisingamangaraja XII perpusat di Bakkara. Eksistensi pemerintahan ini setidaknya masih eksis sebelum akhirnya Raja dengan pengawalan para pasukan khusus dari Aceh terpaksa mengungsi ke ibukota kedua kerajaan Batak di Dairi atau tepatnya Pearaja di Parlilitan.
Pemerintahan juga mempunyai beberapa pembantu raja yang disebut Pendeta Raja. Baligeraja (Sorimangaraja), Ompu Palti Raja dan Jonggi Manaor. Di lain pihak terdapat juga beberapa panglima dan kepala hulu baling. Para hulu balang yang berfungsi sebagai birokrasi pemerintahan tidak saja berfungsi untuk mengamankan negeri tapi juga mengumpulkan pajak dari pusat-pusat roda pemerintahan kerajaan. Saat Raja mengungsi, dikhabarkan turut juga diangkut dari Bakkara keuangan negara berupa emas dan keping uang yang diangkut dengan puluhan kuda ke Bakkara. Secara resmi memang, Sisingamangaraja tidak mempunyai pasukan reguler. Namun, dia mempunyai loyalitas dari rakyat yang dapat dimobilisasi seketika. Banyak negara di dunia, bahkan sampai sekarang di kepulauan Pasifik, di mana tidak ada tentara regulernya. Hanya beberapa orang polisi dan birokrasi. Namun itu tidak menandakan bahwa negara tersebut bukanlah sebuah negara. Yang pasti keberadaan tentara rerguler bukanlah syarat bahwa sebuah negara berdiri. Satu hal yang dipastikan adalah bahwa terbukti tentara Sisingamangaraja XII berhasil menahan dan mengimbangi pasukan penjajah Belanda sampai tahun1907.
Semi-Federalisme
Hubungan antara ibukota pemerintahan dengan huta-huta, bius dan horja dilakukan dengan hubungan sistem semi-federalisme. Dimana sebuah sub-polity, mempunyai otonomi yang luas dengan kedaulatan yang ada di Bakkara . Disebut semi-federalisme dan bukan federalisme karena dalam kerajaan Batak terdapat nilai-nilai negara kesatuan. Nilai negara kesatuan tersebut tercermin dari terpusatnya struktur legislasi (adat), eksekutif (dalam urusan ke luar negeri dan sebagain dalam negeri) dan yudikatif. Semua permasalahan, khususnya inter-sub polity akan diselesaikan di Bakkara. Atau dalam beberapa kesempatan di selesaikan di Onan Raja, Balige saat semua roda perekonomian rakyat terpusat di Balige. Para pejabat di sub-polity diangkat atas persetujuan raja.
Pemerintahan Sisingamangaraja XII perpusat di Bakkara. Eksistensi pemerintahan ini setidaknya masih eksis sebelum akhirnya Raja dengan pengawalan para pasukan khusus dari Aceh terpaksa mengungsi ke ibukota kedua kerajaan Batak di Dairi atau tepatnya Pearaja di Parlilitan.
Pemerintahan juga mempunyai beberapa pembantu raja yang disebut Pendeta Raja. Baligeraja (Sorimangaraja), Ompu Palti Raja dan Jonggi Manaor. Di lain pihak terdapat juga beberapa panglima dan kepala hulu baling. Para hulu balang yang berfungsi sebagai birokrasi pemerintahan tidak saja berfungsi untuk mengamankan negeri tapi juga mengumpulkan pajak dari pusat-pusat roda pemerintahan kerajaan. Saat Raja mengungsi, dikhabarkan turut juga diangkut dari Bakkara keuangan negara berupa emas dan keping uang yang diangkut dengan puluhan kuda ke Bakkara. Secara resmi memang, Sisingamangaraja tidak mempunyai pasukan reguler. Namun, dia mempunyai loyalitas dari rakyat yang dapat dimobilisasi seketika. Banyak negara di dunia, bahkan sampai sekarang di kepulauan Pasifik, di mana tidak ada tentara regulernya. Hanya beberapa orang polisi dan birokrasi. Namun itu tidak menandakan bahwa negara tersebut bukanlah sebuah negara. Yang pasti keberadaan tentara rerguler bukanlah syarat bahwa sebuah negara berdiri. Satu hal yang dipastikan adalah bahwa terbukti tentara Sisingamangaraja XII berhasil menahan dan mengimbangi pasukan penjajah Belanda sampai tahun1907.
Semi-Federalisme
Hubungan antara ibukota pemerintahan dengan huta-huta, bius dan horja dilakukan dengan hubungan sistem semi-federalisme. Dimana sebuah sub-polity, mempunyai otonomi yang luas dengan kedaulatan yang ada di Bakkara . Disebut semi-federalisme dan bukan federalisme karena dalam kerajaan Batak terdapat nilai-nilai negara kesatuan. Nilai negara kesatuan tersebut tercermin dari terpusatnya struktur legislasi (adat), eksekutif (dalam urusan ke luar negeri dan sebagain dalam negeri) dan yudikatif. Semua permasalahan, khususnya inter-sub polity akan diselesaikan di Bakkara. Atau dalam beberapa kesempatan di selesaikan di Onan Raja, Balige saat semua roda perekonomian rakyat terpusat di Balige. Para pejabat di sub-polity diangkat atas persetujuan raja.
Kedaulatan
Teori dan prinsip kedaulatan di tanah Batak telah mengalami pasang surut sesuai dengan kondisi zaman. Banyak kerajaan-kerajaan Batak yang mempunyai kedaulatan yang bersifat unilateral atau absolut. Di mana kedaulatan berada dalam tampuk Sultan atau Raja yang kemudian didelegasikan ke beberapa wilayah dalam bentuk perintah dan otoritas yang diratifikasi oleh pemegang kedaulatan. Contohnya adalah Kesultanan Barus dan beberapa kerajaan Batak lainnya dimana kedaulatan yang absolut berada di tangan Raja atau Sultan karena dia diyakini merupakan pemilik awal kerajaan dan huta yang kemudian berdomisili di dalamnya banyak orang. Kedaulatan seperti ini bersifat permanen karena kedaulatan itu sendiri tumbuh dari Raja dan Sultan dan hanya dia yang berhak menggunakannya.
Sementara itu, kedaulatan yang ada pada Kerajaan Batak Sisingamangaraja XII, bersifat pluralis. Karena huta-huta atau polity-polity di tanah Batak terlebih dahulu eksis. Namun karena satu sama lain sering terjadi konflik, kompetisi dan perang akhirnya dicapailah sebuah kompromi dengan pengakuan terhadap Manghuntal sebagai Sisingamanraja I yang menjadi Raja pengayom dan penjamim hak-hak azasi seluruh tanah Batak yang membaiatnya menjadi Raja.
Kedaulatan polity-polity tersebut akhirnya dipegang oleh satu kekuasaan tertinggi. Mirip dengan kondisi Leviatan ala Hobbes dengan hipotesanya tentang kondisi everlasting war antar kelompok rakyat yang pada akhirnya timbul kesadaran untuk melangkah maju dengan menyerahkan kedaulatan kelompok mereka kepada raja agar menjadi penjamin dan pemelihara kedamaian. Kedaulatan ini dicapai melalui konsensus umum atau perjanjian umum.
Dalam kronik Raja-raja Barus bahkan disebutkan ketika Sultan Ibrahimsyah Pasaribu yang akan pergi ke Barus dari Tarusan, tiba-tiba mengalami kecelakaan di Batu Mundam. Dari sana mereka meneruskan perjalanan melalui darat ke Silindung. Di Silindung, Sultan bersama seribu orang pengawalnya menemukan sebuah komunitas Batak yang kosong dengan penguasa. Orang-orang Silindung tersebut akhirnya dengan penuh kesadaran meminta Sultan untuk tinggal di Silindung menjadi raja mereka. Permintaan tersebut dibuat selain karena kesadaran untuk memajukan daerahnya juga untuk menjamin keamanan dan hak-hak dasar manusia dari rongrongan perbudakan asing, perampokan dan perang antar huta yang terjadi secara intens
Namun Sultan menolak dengan halus dan mengangkat Raja Berempat dari para pengawalnya untuk menjadi pemimpin dan penguasa di tempat tersebut yang dapat menjamin keberlangsungan hidup rakyat. Raja Berempat inilah yang kemudian dikukuhkan oleh Manghuntal paska kenaikannya dalam tampuk kekuasaan menjadi Lembaga Raja Na Opat. Sultan dikabarkan terus berangkat menuju Barus melalui Bakkara dan di Bakkara mereka juga menemukan kondisi masyarakat yang sama.
Teori dan prinsip kedaulatan di tanah Batak telah mengalami pasang surut sesuai dengan kondisi zaman. Banyak kerajaan-kerajaan Batak yang mempunyai kedaulatan yang bersifat unilateral atau absolut. Di mana kedaulatan berada dalam tampuk Sultan atau Raja yang kemudian didelegasikan ke beberapa wilayah dalam bentuk perintah dan otoritas yang diratifikasi oleh pemegang kedaulatan. Contohnya adalah Kesultanan Barus dan beberapa kerajaan Batak lainnya dimana kedaulatan yang absolut berada di tangan Raja atau Sultan karena dia diyakini merupakan pemilik awal kerajaan dan huta yang kemudian berdomisili di dalamnya banyak orang. Kedaulatan seperti ini bersifat permanen karena kedaulatan itu sendiri tumbuh dari Raja dan Sultan dan hanya dia yang berhak menggunakannya.
Sementara itu, kedaulatan yang ada pada Kerajaan Batak Sisingamangaraja XII, bersifat pluralis. Karena huta-huta atau polity-polity di tanah Batak terlebih dahulu eksis. Namun karena satu sama lain sering terjadi konflik, kompetisi dan perang akhirnya dicapailah sebuah kompromi dengan pengakuan terhadap Manghuntal sebagai Sisingamanraja I yang menjadi Raja pengayom dan penjamim hak-hak azasi seluruh tanah Batak yang membaiatnya menjadi Raja.
Kedaulatan polity-polity tersebut akhirnya dipegang oleh satu kekuasaan tertinggi. Mirip dengan kondisi Leviatan ala Hobbes dengan hipotesanya tentang kondisi everlasting war antar kelompok rakyat yang pada akhirnya timbul kesadaran untuk melangkah maju dengan menyerahkan kedaulatan kelompok mereka kepada raja agar menjadi penjamin dan pemelihara kedamaian. Kedaulatan ini dicapai melalui konsensus umum atau perjanjian umum.
Dalam kronik Raja-raja Barus bahkan disebutkan ketika Sultan Ibrahimsyah Pasaribu yang akan pergi ke Barus dari Tarusan, tiba-tiba mengalami kecelakaan di Batu Mundam. Dari sana mereka meneruskan perjalanan melalui darat ke Silindung. Di Silindung, Sultan bersama seribu orang pengawalnya menemukan sebuah komunitas Batak yang kosong dengan penguasa. Orang-orang Silindung tersebut akhirnya dengan penuh kesadaran meminta Sultan untuk tinggal di Silindung menjadi raja mereka. Permintaan tersebut dibuat selain karena kesadaran untuk memajukan daerahnya juga untuk menjamin keamanan dan hak-hak dasar manusia dari rongrongan perbudakan asing, perampokan dan perang antar huta yang terjadi secara intens
Namun Sultan menolak dengan halus dan mengangkat Raja Berempat dari para pengawalnya untuk menjadi pemimpin dan penguasa di tempat tersebut yang dapat menjamin keberlangsungan hidup rakyat. Raja Berempat inilah yang kemudian dikukuhkan oleh Manghuntal paska kenaikannya dalam tampuk kekuasaan menjadi Lembaga Raja Na Opat. Sultan dikabarkan terus berangkat menuju Barus melalui Bakkara dan di Bakkara mereka juga menemukan kondisi masyarakat yang sama.
C. SISTEM
TEKNOLOGI
Masyarakat
Batak telah mengenal dan mempergunakan alat-alat sederhana yang dipergunakan
untuk bercocok tanam dalam kehidupannya. Seperti cangkul, bajak (tenggala dalam
bahasa Karo), tongkat tunggal (engkol dalam bahasa Karo), sabit (sabi-sabi)
atau ani-ani. Masyarakat Batak juga memiliki senjata tradisional yaitu, piso
surit (sejenis belati), piso gajah dompak (sebilah keris yang panjang), hujur
(sejenis tombak), podang (sejenis pedang panjang). Unsur teknologi lainnya
yaitukain ulos yang merupakan kain tenunan yang mempunyai banyak fungsi dalam
kehidupan adat Batak.
Masyarakat Batak juga memiliki rumah adat Batak. Rumah Batak biasanya didirikan
di atas tiang kayu yang banyak, berdinding miring, beratap ijuk. Letaknya
memanjang kira kira 10 – 20 meter dari timur ke barat. Pintunya ada di sisi
barat dan timur pada rumah Karo dan Simanuwun, atau pada salah satu ujung
lantai pada rumah Toba ( masuk dari kolong). Pada bagian puncaknya yang
menjulang ke atas di sebelah barat dan timur dipasang tanduk kerbau atau arca
muka manusia dan puncak yang melengkung membentuk setengah lingkaran ( kecuali
rumah empat ayo pada Karo). Pada bagian depan (barat dan timur)
rumah Karo yang disebut ayo ada ornamentasi geometris dengan warna warna
merah , putih , kuning dan hitam. Pada sisi kanan kiri pada kedua mukanya rumah
batak menggunakan lukisan (arca). Kepala orang atau singa (Kalamakara).
Dindingnya diikat dengan tali ijuk yang disusun sedemikian rupa sehingga
menyerupai gambar cecak ( Reret ).
Satu bagian yang merupakan keistimewaan dari rumah Karo dan yang tidak ada pada
rumah Batak yang lainadalah semacam teras dari bamboo yang disusun di serambi
muka. Teras ini disebut Ture yang pada malam harinya digunakan sebagai tempat
pertemuan gadis dan pemuda yang menemuinya. Satu rumah Batak itu biasanya
dihuni oleh beberapa keluarga – batih yang satu dengan lain, terikat dengan
hubungan kekerabatan secara patrilinear.
D.
SISTEM ORGANISASI ATAU
KEMASYARAKATAN
a).
sistem kekerabatan
Didalam suku Batak kita sering mengenal yang
namanya Marga. Marga pemberi gadis disebut Hula-hula dan marga yang menerima
gadis disebut Boru. Kedudukan Hula-hula ternyata lebih tinggi daripada Boru.
Maka Boru harus selalu menghormati marga Hula-hula. Jika Boru tidak menghormati
Hula-hula, maka warga dari marga Boru itu bisa mengalami bermacam-macam
kesulitan dan bencana. Sebab Hula-hula dianggap sebagai sumber magis bagi marga
Boru.
Perkawinan paralel cousin dari 2 saudara
laki-laki dilarang, karena masyarakat Batak menganut sistem kekerabatan
Patrilineal atau Patriarchat. Yaitu berdasarkan garis ayah. Dengan demikian
setelah terjadinya perkawinan, maka si isteri melepaskan diri dari ikatan
clannya dan masuk ke dalam clan suaminya. Ini merupakan kebalikan dari sistem
Matrilineal dalam masyarakat Minangkabau.
Dalam perkawinan adat Batak, pihak keluarga
laki-laki harus menyerahkan mas kawin dan pemberian bingkisan (uang) lain yang
amat banyak kepada kaum kerabat mempelai wanita. Mengenai hal tersebut ada
akibatnya sebagai berikut :
1. Jika calon suami tidak mampu membayar mas kawinnya maka ia
akan melakukan perkawinan sumondo atau kawin kerja, yaitu
pemuda itu harus bekerja dahulu kepada calon mertuanya beberapa bulan, sehingga
oleh calon mertuanya dia telah dianggap melunasi mas kawinnya. Setelah itu
barulah dapat dikawinkan dengan putrinya.
2. Jika suami meninggal, si janda itu harus tetap tinggal dalam
marga almarhum suaminya dan wajib kawin lagi dengan saudara almarhum suaminya.
Perkawinan lanjutan ini di sebut levirat.
Dalam kekerabatan, orang Batak memperhatikan
keturunan itu secara patrilineal, yaitu dengan dasar satu ayah, satu kakek,
atau satu nenek moyang. Perhitungan 1 ayah disebut sada bapa(Karo)
atau saama (pada orang Toba).
Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah
keluarga batih (pada orang Karo disebut jabu dan pada orang Toba disebut ripe).
IStilah jabu dan ripe sering dipakai untuk keluarga luas virilokal, yaitu
beberapa rumah tangga yang masih menjadi satu rumah dengan ayahnya.
Perhitungan satu kakek dan satu nenek moyang
disebut sada nini (Karo) atau saompu (Toba).
Ini juga merupakan kelompok kekerabatan yang disebut klen kecil. Karena
perhitungan ini bisa sampai 20 generasi jauhnya, maka klen kecil ini akan
menjadi besar juga, misalnya yang berlaku pada orang Batak Toba.
Kekerabatan yang besar disebut merga (Karo)
atau marga (Toba), tetapi istilah-istilah ini memiliki beberapa arti.
1. Pada orang Karo, merga bisa berarti klen besar yang
patrilineal (misalnya merga : Ginting, Sembiring, Tarigan, Perangin, Anging).
Tetapi dapat juga berarti bagian dari klen besar patrilineal (misalnya :
Sitepu, Barus, Sinulingga yang ketiganya merupakan sub marga dari marga
Makaro-karo).
2. Bagi orang Toba, marga bisa berarti klen patrilineal
(misalnya : Simatupang, Siregar, Sinaga, Situmorang dan lain-lain), tetapi juga
marga bisa berarti sub klen (misalnya : Siburian, Silo, Nababan dan
sebagainya).
3. Marga juga berarti gabungan klen atau fratri (misalnya :
Lontung, Suruba, dan Borbor).
Pada suku-suku bangsa
Batak Karo, Batak Toba dan Batak Simalungun memiliki gabungan marga, marga dan
sub marga, seperti dalam tabel di bawah ini :
Suku Bangsa
|
Gabungan
marga
|
Marga
|
Sub marga
|
Karo
|
-
|
Makaro-karo
Ginting
Sembiring
Perangin-angin
Tarigan
|
Sitepu, Barus, Sinulingga, dll
Suka, Munte, Manik, dll
Keloko, Muhan, Pandia, dll
Kutabuluh, Sebajang, Bangun, dll
Tambun, Silangit, dll
|
Toba
|
Lontung
|
Situmorang
Sinaga
Pandiangan
Nainggolan
Simatupang
Aritonang
Siregar
|
Lamban Pande, dll
Bonar, dll
Pandiangan, dll
Lumban Raja, dll
Togatorap, dll
Ompu Sunggu, dll
Silo, dll
|
Suruba
|
Nai Ambaton
Nai Rasaan
Nai Rasaon
|
Simbolon, dll
Manurung, dll
Sibagot Nipohan, dll
|
|
Borbor
|
Lubis
Pulungan
Harahap
Sipahutor
Batubara
|
||
Simalungun
|
-
|
Purba
Saragih
Damanik
Sinaga
Sipajung
|
Girsang, dll
Simarmata, dll
Manik, dll
|
Sistem
kekerabatan orang Batak adalah patrilineal, yaitu menurut garis keturunan
ayah.Dalam berhubungan antara yang satu dengan yang lain pada masyarakat Batak,
mereka harus mampu menempatkan dirinya dalam struktur itu sehingga
mereka selalu dapat mencari kemungkinan hubungan kekerabatan di antara
sesamanya dengan cara martutur. Hubungan antara satu marga dengan marga
lainnya sangat erat, setelah terjadinya beberapa kelompok kecil yang
diakibatkan sebuah perkawinan.
Memang benar, apabila seorang Batak menyebut anggota marga-nya dengan sebutan dongan-sabutuha
(mereka yang berasal dari rahim yang sama). Garis keturunan laki-laki
diteruskan oleh anak laki-laki, dan menjadi punah kalau tidak ada lagi anak
laki-laki yang dilahirkan. Sistem kekerabatan patrilineal ini yang menjadi
tulang punggung masyarakat Batak, yang terdiri atas turunan-turunan, marga, dan
kelompok-kelompok suku, semuanya saling dihubungkan menurut garis laki-laki.
Laki-laki itulah yang membentuk kelompok kekerabatan, sedangkan perempuan
menciptakan hubungan besan (affinal relationship), karena ia harus kawin
dengan laki-laki dari kelompok patrilineal yang lain.
E.
SISTEM PENGETAHUAN
Sistem
pengtahuan masyarakat Batak tampak pada perubahan-perubahan musim yang diakibatkan
oleh siklus alam, misalnya musim hujan dan musim kemarau. Perubahan dua jenis
musim tersebut dipelajari masyarakat Batak sebagai pengetahuan untuk keperluan
bercocok tanam.
Selain
pengetahuan tentang perubahan musim, masyarakat suku Batak juga menguasai
konsep pengetahuan yang berkaitan dengan jenis tumbuh-tumbuhan di sekitar
mereka. Pengetahuan tersebut sangat penting artinya dalam membantu memudahkan
hidup mereka sehari-hari, seperti makan, minum, tidur, pengobatan, dan
sebagainya. Jenis tumbuhan bambu misalnya dimanfaatkan suku masyarakat
Batak untuk membuat tabung air, ranting-ranting kayu menjadi kayu bakar,
sejenis batang kayu dimanfaatkan untuk membuat lesung dan alu,
yang kegunaannya untuk menumbuk padi.
Pengetahuan
tentang beberapa pohon, kulit kayu (lak-lak), serta batu, yang
dimanfaatkan masyarakat Batak untuk keperluan makam raja-raja. Sedangkan dari
kulit kayu biasanya masyarakat Batak memanfaatkannya untuk menulis ilmu
kedukunan, surat menyurat dan ratapan. Kulit kayu (lak-lak) tidak
ditonjolkan tetapi secara tersirat ada, karena yang menggunakan lak-lak tersebut
hanya seorang Datu. Masyarakat Batak mengetahui dan menguasai kegunaan
bagian-bagain tumbuhan dan bebatuan secara efektif dan memanfaatkan untuk acara
tergambar pemakaman raja-raja. Upacara pemakaman itu hanya untuk raja-raja,
tetua adat, dan para tokoh yang mempunyai kedudukan saja. Hal itu disebabkan
pelaksanaan upacara pemakaman membutuhkan dana yang cukup besar.
F.
SISTEM RELIGI
Batak
telah dipengaruhi oleh beberapa agama, yaitu agama Islam dan Kristen Protestan
yang masuk sejak permulaan abad ke-19. Agama Islam masuk di Minangkabau sejak
tahun 1810 dan sekarang dianut oleh sebagian besar dari orang Batak selatan
(Mandailing dan Angkola). Sedangkan agama Kristen disiarkan ke daerah Toba dan
Simalungun oleh organisasi penyiar agama dari Jerman sejak tahun 1863 dan ke
daerah Karo oleh organisasi Belanda pada masa yang sama. Di samping itu juga
ada agama-agama lain dan agama pribumi.
Walaupun sebagian besar orang Batak telah menganut agama Kristen atau Islam,
namun banyak konsep-konsep agama aslinya masih hidup terutama di pedesaan. Hal
ini dapat diketahui lewat buku-buku kuno (pustaha) yang berisi silsilah Batak
dan dunia makhluk halus.
Orang Batak punya konsepsi bahwa alam ini beserta segala isinya diciptakan oleh
Debata (Ompung) Mulajadi na Bolon. Dia berada di atas langit dan mempunyai
nama-nama lain sesuai dengan tugas dan tempat kedudukannya. Sebagai Debata Mulajadi na Bolon, ia tinggal di langit dan
merupakan maha pencipta. Sebagai penguasa dunia tengah, ia bertempat tinggal di
dunia ini dan bernama Silaon na Bolon (Toba) ,atau Tuan Padukah ni Aji (Karo).
Sebagai penguasai dunia makhluk halus ia bernama Pane na Bolon. Selain daripada
pencipta, Debata Mulajadi na Bolon juga menciptakan dan mengatur kejadian
gejala-gejala alam, seperti hujan, kehamilan, sedangkan Pane na Bolon mengatur
setiap penjuru-mata angin.
G.
SISTEM KESENIAN
Seni
pada masyarakat Batak umumnya meliputi, seni sastra, seni musik, seni tari,
seni bangunan, seni patung, dan seni kerajinan tangan. Terdapat beberapa
seni masyarakat Batak, antara lain:
a. Margondang
Upacara margondang
diadakan untuk menyambut kelahiran anak mereka dan sekaligus mengumumkan
kepada warga kampung bahwa dia sudah mempunyai anak. Kata margondang merupakan
bentukan dari kata dasar gondang (gendang) yang mendapat awalan me- atau
ber-. Margondang menyatakan kata kerja yakni bergendang atau memainkan
alat musik gendang. Margondang merupakan suatu kebiasaan masyarakat
Batak yang dilakukan dalam suatu upacara tertentu. Tujuan filosofinya adalah
untuk mengukuhkan muatan religi acara tersebut karena merupakan kebiasaan yang
diwarisi dari leluhur.
b. Seni Tari (Tor-tor)
Tortor adalah tarian Batak yang selalu diiringi dengan gondang (gendang).
Tortor pada dasarnya adalah ibadat keagamaan dan bersifat sakral, bukan
semata-mata seni. Tortor dan gondang diadakan apabila upacara
penting kehidupan masyarakat Batak, misalnya melaksanakan horja (kerja
adat) antara lain: mengawinkan anak, martutuaek memandikan atau
memberi nama anak), memasuki rumah baru, mengadakan pesta saring-saring
(upacara menggali kerangka jenazah), pesta bius (mangase Taon);
upacara tahunan, dan pesta edangedang (pesta sukaria).
c. Seni
Patung
Dulu, biasanya para raja-raja
memesan patung untuk makam. Kehadiran patung pada suku Batak diduga sudah ada
sejak lama sekali. Menurut sejarahnya patung pada mulanya dibuat dari tumpukan
–tumpukan batu yang berwujudkan nenek moyang dengan dasar kepercayaan.
Tumpukan-tumpukan batu itu dibuat menjadi sakral yang kepentingannya erat
sekali dengan kepentingan kepercayaan masyarakat. Kemudian tumpukan batu itu
berkembang terus dan berubah menjadi sebuah bentuk patung. Sesuai dengan perkembangannya
dari wujud sakral beralih kepada bentuk yang simbolis memberi rupa wajah
manusia atau binatang. Di Tomok, Pulau Samosir, terdapat jalan setapak kecil
yang hanya bisa dilalui pejalan kaki. Bapak Charles Sidabutar, salah satu
keturunan raja yang kini menjaga makam, menjelaskan bahwa sesuai kepercayaan
setempat pada saat itu, jenazah tidak boleh dimakamkan di tanah, melainkan
harus di dalam batu.
d.
Kerajinan Tangan (Ulos)
Ulos adalah kain
tenun khas suku Batak. Tak hanya sebatas hasil kerajinan seni budaya saja, kain
Ulos pun sarat dengan arti dan makna. Sebagian besar masyarakat Tapanuli
menganggap kain tenun Ulos adalah perlambang ikatan kasih sayang, lambang
kedudukan, dan lambang komunikasi dalam masyarakat adat Batak. Oleh karena itu,
kain tenun Ulos selalu digunakan dalam setiap upacara, kegiatan dan berbagai
acara dalam adat Suku Batak. Misalnya, untuk perkawinan, kelahiran anak,
punya rumah baru, sampai acara kematian.
Tiap-tiap
kain tenun Ulos yang dihasilkan memiliki arti dan makna tersendiri, baik
bagi pemilik ataupun bagi orang yang menerimanya. Misalnya saja Ulos Ragidup.
Ulos ini adalah kain tenun yang tertinggi derajatnya. Sebab, pembuatannya
sangatlah sulit. Kain tenun ulos jenis ini terdiri dari tiga bagian, yaitu 2
sisi yang ditenun sekaligus, dan 1 bagian tengah yang ditenun sendiri dengan
motif yang rumit. Motif Ulos Ragidup ini harus terlihat seperti benar-benar
lukisan hidup. Karenanya, ulos jenis ini sering diartikan sebagai ulos yang
melambangkan kehidupan dan doa restu untuk kebahagian dalam kehidupan.
Ulos
Ragihotang. Ulos ini derajatnya 1 tingkat di bawah ulos ragidup. Pembuatannya
tidak serumit Ulos Ragidup. Namun, Ulos Ragihotang punya arti dan keistimewaan
yang berhubungan dengan pekerjaan. Ulos ini pun sering dipakai dalam upacara
adat kematian sebagai pembungkus atau penutup jenazah yang akan dikebumikan.
Ulos jenis ini mengartikan bahwa pekerjaan seseorang di dunia ini telah
selesai.
Selain kedua jenis ulos tersebut,
ada satu jenis ulos yang disebut Ulos Sibolang. Ulos ini digunakan sebagai
tanda jasa penghormatan. Biasanya dipakai oleh orangtua pengantin atau
diberikan oleh orangtua pengantin perempuan buat menantunya. Oleh karena itu,
Ulos Sibolang dijadikan sebagai lambang penyambutan anggota keluarga baru. Ulos
Sibolang juga diberikan kepada seorang wanita yang ditinggal mati suaminya.
Ulos ini diberikan sebagai tanda menghormati jasanya yang telah menjadi istri
yang baik, sekaligus sebagai tanda bahwa ia telah menjadi janda.
H.
SISTEM EKONOMI
Sistem
ekonomi atau sistem mata pencaharian yang dilakukan masyarakat Batak adalah
bercocok tanam di sawah, ada juga yang di ladang seperti suku bangsa Karo,
Simalungun, dan Pakpak.
Masyarakat Batak mengenal sistem gotong-royong dalam bertani,
dalam bahasa Karo disebut raren, sedangkan dalam bahasa Toba disebut
marsiurupan. Gotong royong dilakukan dengan mengerjakan tanah secara
bersama-sama oleh tetangga atau kerabat dekat. Alat yang digunakan untuk
bercocok tanam, antara lain cangkul, bajak (tenggala dalam bahasa Karo, luku
dalam bahasa Toba), dan tongkat tugal (engkol dalam bahasa Karo). Bajak
biasanya ditarik dengan sapi/kerbau, sabit (sabi-sabi dalam bahasa Toba)
dipakai untuk memotong padi, ada juga yang memakai ani-ani.
Peternakan yang diusahakan oleh masyarakat Batak, seperti
kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Babi biasanya untuk dimakan dan
juga digunakan dalam upacara adat. Di Pulau Samosir tepi Danau Toba, menangkap
ikan dilakukan intensif dengan perahu lesung (Solu) dan hasilnya dijual ke
kota.
I.
MATA PENCAHARIAN
Pada
umumnya masyarakat batak bercocok tanam padi di sawah dan ladang. Lahan didapat
dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap kelurga mandapat tanah tadi tetapi
tidak boleh menjualnya. Selain tanah ulayat adapun tanah yang dimiliki perseorangan
.
Perternakan juga salah satu mata pencaharian suku batak antara lain perternakan kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Penangkapan ikan dilakukan sebagian penduduk disekitar danau Toba.
Perternakan juga salah satu mata pencaharian suku batak antara lain perternakan kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Penangkapan ikan dilakukan sebagian penduduk disekitar danau Toba.
Sektor
kerajinan juga berkembang. Misalnya tenun, anyaman rotan, ukiran kayu,
temmbikar, yang ada kaitanya dengan pariwisata.
J.
ADAT
ISTIADAT
Batak merupakan
salah satu suku bangsa di Indonesia.
Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku
bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur,
di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan
sebagai Batak adalah:Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola,
dan Batak Mandailing.
Saat ini pada umumnya
orang Batak menganut agama Kristen Protestan, Kristen Katolik,
dan Islam Sunni.
Tetapi ada pula yang menganut kepercayaan tadisional yakni: tradisi Malim dan
juga menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini
jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.
Konsep Religi Suku
Bangsa Batak – Debata Mulajadi Na Bolon
Di daerah Batak atau
yang dikenal dengan suku bangsa Batak, terdapat beberapa agama, Islam dan
Kristen (Katolik dan Protestan). Agama Islam disyiarkan sejak 1810 dan sekarang
dianut oleh sebagian besar orang Batak Mandailing dan Batak Angkola.
Agama Kristen Katolik
dan Protestan disyiarkan ke Toba dan Simalungun oleh para zending dan
misionaris dari Jerman dan Belanda sejak 1863. Sekarang ini, agama Kristen
(Katolik dan Protestan) dianut oleh sebagian besar orang Batak Karo, Batak
Toba, Batak Simalungun, dan Batak Pakpak.
Orang Batak sendiri
secara tradisional memiliki konsepsi bahwa alam ini beserta isinya diciptakan
oleh Debata Mulajadi Na Bolon (Debata Kaci-kaci dalam bahasa Batak Karo).
Debata Mulajadi Na
Bolon adalah Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki kekuasaan di atas langit dan
pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu, yaitu Siloan Nabolon
(Toba) atau Tuan Padukah ni Aji (Karo).
- Menyangkut jiwa dan roh, orang Batak mengenal tiga konsep yaitu sebagai berikut.
- Tondi, adalah jiwa atau roh seseorang yang sekaligus merupakan kekuatannya.
- Sahala, adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang.
- Begu, adalah tondi yang sudah meninggal.
Konsep Ikatan Kerabat
Patrilineal Suku Bangsa Batak
Perkawinan pada orang
Batak merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki atau
perempuan. Perkawinan juga mengikat kaum kerabat laki-laki dan kaum kerabat
perempuan.
Menurut adat lama pada
orang Batak, seorang laki-laki tidak bebas dalam memilih jodoh. Perkawinan
antara orang-orang rimpal, yakni perkawinan dengan anak perempuan dari saudara
laki-laki ibunya, dianggap ideal. Perkawinan yang dilarang adalah perkawinan
satu marga dan perkawinan dengan anak perempuan dari saudara perempuan ayahnya.
Kelompok kekerabatan
orang Batak memperhitungkan hubungan keturunan secara patrilineal, dengan dasar
satu ayah, satu kakek, satu nenek moyang. Perhitungan hubungan berdasarkan satu
ayah sada bapa (bahasa Karo) atau saama (bahasa Toba). Kelompok kekerabatan
terkecil adalah keluarga batih(keluarga inti terdiri atas ayah, ibu, dan
anak-anak).
Dalam kehidupan
masyarakat Batak, ada suatu hubungan kekerabatan yang mantap. Hubungan
kekerabatan itu terjadi dalam kelompok kerabat seseorang, antara kelompok
kerabat tempat istrinya berasal dengan kelompok kerabat suami saudara
perempuannya.
Tiap-tiap kelompok
kekerabatan tersebut memiliki nama sebagai berikut.
- Hula-hula; orang tua dari pihak istri, anak kelompok pemberi gadis.
- Anak boru; suami dan saudara (hahaanggi) perempuan kelompok penerima gadis.
- Dongan tubu; saudara laki-laki seayah, senenek moyang, semarga, berdasarkan patrilineal.
Konsep Pemimpin Politik
Suku Bangsa Batak
Pada masyarakat Batak,
sistem kepemimpinan terdiri atas tiga bidang.
- Bidang adat. Kepemimpinan pada bidang adat ini tidak berada dalam tangan seorang tokoh, tetapi berupa musyawarah Dalihan Na Tolu (Toba), Sangkep Sitelu (Karo). Dalam pelaksanaannya, sidang musyawarah adat ini dipimpin oleh suhut (orang yang mengundang para pihak kerabat dongan sabutuha, hula-hula, dan boru dalam Dalihan Na Tolu).
- Bidang agama. Agama Islam dipegang oleh kyai atau ustadz, sedangkan pada agama Kristen Katolik dan Protestan dipegang oleh pendeta dan pastor.
- Bidang pemerintahan. Kepemimpinan di bidang pemerintahan ditentukan melalui pemilihan.
Konsep Agrikultural
Suku Batak – Marsitalolo dan Solu. Orang Batak bercocok tanam padi di sawah
dengan irigasi. Pada umumnya, panen padi berlangsung setahun sekali. Namun, di
beberapa tempat ada yang melakukan panen sebanyak dua atau tiga kali dalam
setahun (marsitalolo).
Selain bercocok tanam,
peternakan merupakan mata pencarian penting bagi orang Batak. Di daerah tepi
danau Toba dan pulau Samosir, pekerjaan menangkap ikan dilakukan secara
intensif dengan perahu (solu). Konsep Bahasa, Pengetahuan, dan Teknologi Suku
Bangsa Batak
Bahasa, pengetahuan,
dan teknologi adalah bentuk budaya dasar sebuah bangsa atau suku bangsa. Mari
kita ulas ketiga aspek tersebut pada suku bangsa Batak.
K.
PENGARUH BUDAYA ASING
Pengaruh budaya asing disebabkan oleh kontak kebudayaan.
Semakin intensif hubungan {interaksi} dengan masyarakat yang berbudaya sehingga
menimbulkan dampak seperti:
1. Perubahan Kebudayaan
Pengaruh kebudayaan asing melalui kontak budaya secara
langsung terjadi pengaruh timbal balik atau saling mempengaruhi sehingga
menimbulkan perubahan kebudayaan.
Perubahan kebudayaan adalah perubahan yang terjadi akibat
ketidaksesuaian diantara unsur-unsur kebudayaan yang saling berbeda sehingga
terjadi keadaan yang tidak serasi fungsinya bagi kehidupan. Perubahan
kebudayaan akan berjalan secara terus menerus bergantung pada dinamika
masyarakatnya.
2. Pembauran Kebudayaan
Pembauran kebudayaan antara kebudayaan masyarakat setempat
{lokal} dengan kebudayaan asing dipercepat dengan adanya suatu keadaan yang
sulit dihindari.Dunia menjadi terbuka tanpa proteksi yang dikenal dengan
globalisasi. Globalisasi adalah proses terbentuknya sebuah sistem organisasi
dan sistem komunikasi antara masyarakat di seluruh dunia untuk mengikuti sistem
dan kaidah yang sama.
Menurut Michael Haralambos dan Marin Holbon, globalisasi
adalah suatu proses yang didalamnya batas-batas negara luluh dan tidak penting
lagi dalam kehidupan sosial.
Arus globalisasi telah membuat dunia menjadi seperti satu
kesatuan tanpa batas yang pasti. Derasnya arus komunikasi dan informasi
mempercepat masuknya unsur-unsur budaya asing yang dapat memperkaya kebudayaan
Indonesia.
3. Modernisasi
Menurut Kontjaraningrat, modernisasi adalah usaha untuk
hidup sesuai dengan zaman dan konstelasi dunia. Modernisasi adalah proses
perubahan masyarakat dan kebudayaan dari masyarakat dan kebudayaan tradisional
ke masyarakat dan kebudayaan modern dalam seluruh aspeknya.
Modernisasi dapat bersumber pada negara-negara barat
(Amerika,Eropa}. Masuknya budaya asing menimbulkan modernisasi yang
menghasilkan manusia modern yang lebih mengacu pada pandangan hidup, sikap, dan
tindakan.
4. Keguncangan Budaya (Culture Schock)
Keguncangan budaya adalah guncangan jiwa atau mental
masyarakat karena belum adanya kesiapan menerima kebudayaan asing yang datang
secara tiba-tiba. Masyarakat yang terdiri atas beberapa
ras,suku,bangsa,agama,ideology,pekerjaan,latar belakang budaya akan memudahkan
timbulnya pertentangandan guncangan-guncangan sosial. Suasana yang demikian akan
mendorong lahirnya perubahan-perubahan sosial.
5. Penetrasi Budaya
Penetrasi kebudayaan dalam penetrasi,pengaruh kebudayaan
asing sedemikian rupa sehingga menimbulkan perubahan kebudayaan secara
besar-besaran dalam waktu yang relatif singkat
Penetrasi kebudayaan berjalan melalui 2 cara:
a. cara
damai atau bersahabat
b. cara
kekerasan
6 Memperkaya Keberagaman Budaya Indonesia
Pengaruh kontak dengan budaya asing sangat jelas tampak pada
agama yang dianut bangsa Indonesia bahkan corak kesenian dan adat istiadat yang
ada di Indonesia juga diwarnai budaya asing yang masuk di Indonesia.
7 Lemahnya Nilai-nilai Budaya Bangsa
Lemahnya nilai-nilai budaya bangsa akibat kuatnya pengaruh
budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.Melalui kontak langsung
(unsur-unsur pariwisata) maupun tidak langsung (media cetak,elektonik dll.).Hal
ini dapat berdampak westernisasi atau gaya hidup kebarat-baratan,pergaulan
bebas,penyalahgunaan obat-obatan.
Langganan:
Postingan (Atom)